Juara bulutangkis atau demi nilai semata
Siapa sih yang tidak bangga ketika memengangkan suatu perlombaan atau kejuaraan?
Semua orang, baik yang memang terlahir dengan bakat alami, ataupun yang memang bekerja keras demi menjadi pemenang tentu sangat mengidamkan trofi sebaga bukti autentik dari keberhasilan mereka. Tentu setiap orang harus melalui perjalanan panjang serta pengorbanan demi meraihnya.
Sesuai judul diatas, saya ingin mengisahkan suatu kisah ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar.
Cerita dimulai dari ketika saya memasuki masa-masa akhir SD, tepatnya akan memasuki masa ujian kelulusan. Saat itu guru olahraga saya tiba-tiba mengatakan tiap siswa diwajibkan memiliki nilai ekstrakulikuler dicabang olahraga apapun sebagai syarat kelulusan. Saat itu semua teman mulai bingung memikirkan bagaimana cara mendapatkan nilai tersebut. Sedangkan dari pihak sekolah saat itu tidak memiliki ekstrakulikuler apapun sebagai kegiatan rutin. Sehingga kami harus mencari tempat pembinaan sendiri-sendiri.
Mungkin nasib mujur saya dan beberapa teman miliki, karena tak jauh dari rumah ada sebuah tempat gelanggang bulutangkis (PB) yang baru buka, dan tanpa pikir panjang kami pun ikut mendaftar disana. Ada pula rekan yang bergabung di sekolah sepak bola, ataupun tempat lain demi mendapat inilai tersebut.
Latihan dilaksanakan tiap hari minggu, kebetulan sejak duduk dibangku kelas empat, saya termasuk sudah bisa melakukan beberapa teknik dasar berkat Ayah(Alm) yang sudah memperkenalkan pada saya olahraga tersebut lebih dahulu. Jadi saya tidak terlalu kaku-kaku amat saat melakukan serve, hehehe
Setiap minggu kita latihan, teknik dasar, pembekalan aturan main, hingga latihan fisik kami jalankan secara rutin dibimbing oleh seorang instruktur. Seperti biasa, tiap olahraga fisik diawali dengan pemanasan, biasanya dengan keliling lapangan beberapa kali. lalu teknik-teknik bermain, dan biasanya ditutup dengan sparing sesama anak didik, dan boleh pilih lawan sendiri. Namun karena membludaknya peseta, kadangkala ada yang tidak kebagian karena waktu latihan sudah habis. Maklum, disana hanya tersedia dua buah lapangan. Tak jarang kami melanjutkan "pertarungan" kami di balai pertemuan warga yang letaknya tak jauh didekat sana demi memuaskan hasrat.
Mendekati masa ujian, guru pun meminta kami untuk mengumpulkan nilai ekstrakulikuler yang telah kami ikuti. Dan instruktur pun membuat turnamen mini antar siswa untuk membuat patokan nilai berdasarkan hasil akhir turnamen. Dan hasil akhir yang saya peroleh tidak terlalu mengecewakan,
Saya sendiri lupa siapa yang menjadi juaranya, hehehe
Untuk partai putri, rekan saya berhasil mewakili sekolah sebagai juara tingkat kota, namun tidak diteruskan mengingat disekolah menengah tingkat pertama dia tidak bisa meneruskan pendidikan karena sesuatu dan lain hal. Andai dia masih meneruskan keberhasilan itu, munkin sekarang dia sudah tampil di tv dengan lambang merah putih di dada, sayang sekali.
Sebenarnya ada contoh dari keberhasilan yang diraih dari situasi keterpaksaan, contoh yang paling gampang adalah Chef Juna. Dari keterpaksaan bekerja disebuah restaurant kini ia sukses menjadi salah satu Top Chef Indonesia.
Sedangkan saya, mindset dari awal hanya untuk mendapat nilai kelulusan, jadi bisa di tebak, saya berhenti latihan ketika lulus SD, jangan ditiru yaaa...
Padahal semua orang tau, Indonesia masih berjaya di cabang bulutangkis, yang artinya olahraga ini masih mendapatkan perhatian baik dari publik, maupun pemerintah. Dan regenerasi harusnya tetap dijalankan demi menjaga nama besar yang telah kita raih beberapa tahun silam.
Semoga para punggawa merah putih akan kembali berjaya di turnamen-turnamen internasional yang akan datang.
Sekian dulu dari saya, semoga tulisan ini ada manfaatnya...
Salam Damai...
Comments
Post a Comment